Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari :
    1. 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
    2. 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
    3. 2 orang sebagai waranggana;
    4. 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan wayang orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit.Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.
     Pola kostum dan make up wayang orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan wayang orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis.Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang, ataupun yang lain-lain.
     Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja. Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari. Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.
     Garap wayang orang memiliki perbedaan dalam masing-masing gaya. Yogyakarta yang masih menjalankan budaya Mataram asli memiliki ciri khas sendiri, begitu pula dengan Mangkunegaran (Surakarta) yang memiliki ciri khas sendiri hasil yasa enggal atau membuat yang baru.
     Perbedaan itu salah satunya bisa dilihat pada  tata rias pemain wayang orang. Dalam garapan gaya Surakarta, busana rias pemain tampak sangat gemerlapan serta berkesan romantik. Sementara dalam gaya Yogyakarta, busana pemain menampakkan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada busana gaya Surakarta. Untuk pakaian tokoh kera dalam adegan Ramayana misalnya, riasan wajah pemain kera gaya Surakarta hanya mengandalkan riasan make up wajah (irah-irahan) serta aksesoris berupa taring dan rumbai rambut pasangan. Sementara dalam gaya Yogyakarta, penggambaran citra wajah tokoh kera menggunakan aksesori topeng kayu. Begitu pula dalam tokoh raksaksa, gaya Yogyakarta juga menggunakan akseoris topeng kayu untuk menggambarkan ciri wajah dan perangai raksaksa yang diperankan.
     Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum. Dialog dalam wayang orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi. Dalam wayang orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.
     Kini, hampir kebanyakan grup wayang orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta. Jika ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkala pada kostum.
     Perkembangan dua gaya dalam pementasan wayang orang merupakan suatu kekayaan budaya adiluhung yang tak ternilai harganya. Masing-masing gaya memiliki ciri khas tersendiri, yang menjadikan suatu identitas bagi daerah tersebut. Begitu pelik dan rumitnya olah garap sendratari wayang orang baik secara fisik maupun falsafah yang terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa Bangsa Jawa telah mampu menciptakan sebuah karya seni budaya yang sudah sangat maju dan terstruktur rapi, serta begitu halus dan estetis.
     Berhasil tidaknya regenerasi wayang orang tidak dapat dipandang secara sepintas.Kesenian wayang orang yang diturunkan dari masa ke masa tersebut, tidak boleh punah di tangan generasi saat ini.
Walaupun sempat mengalami pasang surut dalam perkembangannya, sendratari wayang orang masih tetap eksis di tengah moderenisasi.Di tengah hingar bingar hiburan moderen, wayang orang menjadi salah satu rujukan hiburan dengan sensasi dan suasana yang berbeda, tradisional namun elegan.
     Sebagai masyarakat Jawa yang diwarisi berbagai produk budaya yang beraneka ragam tersebut, sudah seharusnya memiliki hak dan juga berkewajiban untuk ikut melestarikan produk-produk budaya itu, termasuk pula di dalamnya wayang orang.Melestarikan seni budaya tidak perlu harus menjadi pelaku aktif dalam bidang seni budaya tersebut, walaupun memang lebih baik jika seperti itu.Semua bisa dimulai dari yang paling mendasar, yaitu merasa memiliki, kemudian bangga, serta menyukai dan mencintai. Sekalipun kita tidak memiliki bakat dan minat menjadi pemain wayang orang, kita masih bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni wayang orang, yaitu dengan bangga akan seni wayang orang dan gemar menyaksikan pergelaran wayang orang. Dengan demikian, suatu produk budaya akan tetap lestari di tengah gempuran arus kemajuan dan moderenisasi.
     Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
     Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.
     Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang, dan lain-lain.