WOW ternyata tari wayang mempunyai sejarah yang panjang
SERATUS tahun silam, negara kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Yang ada kelompok- kelompok etnis seperti Jawa, Bali, Minang, dan Melayu yang hidup terpisah-pisah di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Sebelum penjajah hadir, penguasa pribumi-raja-raja, terutama Jawa dan Bali- melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggara berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama, atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata.
Melalui upacara spektakuler seperti garebeg, sekaten, eka dasa rudra, dan galungan para raja menunjukkan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatullah tanah Jawa, rakyat diyakinkan akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit). Posisi tak menguntungkan rakyat kecil ini secara tradisi harus diterima dengan patuh tanpa bertanya.
Masuknya penjajah Belanda memperburuk situasi hidup. Raja-raja, penguasa lokal yang didewakan rakyat, tak lagi berkuasa penuh tetapi harus tunduk dan melayani kepentingan penjajah Belanda. Awalnya, para penguasa pribumi secara sporadis melawan Belanda. Mereka berjuang sendiri-sendiri dengan kekuatan ekonomi, militer, teknologi, dan strategi yang tak memadai, karenanya banyak yang tergilas.
Tiga ratus tahun berjuang tanpa hasil, raja-raja Jawa dan Bali kemudian banyak yang pasrah dan memusatkan perhatiannya pada kegiatan gamelan, tari dan wayang, atau mistik. Wacana budaya pada saat ini adalah bertahan hidup. Kebesaran raja-raja Jawa sebenarnya tinggal nama, karena secara politik dan ekonomi mereka sangat bergantung kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ada kalanya para raja justru membantu penjajah Belanda mengeksploitasi rakyatnya.
Patronase pertunjukan tari, wayang dan gamelan tetap, walau jumlahnya berkurang. Upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan atau klangenan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isi. Upacaragarebeg misalnya, tak lagi diselenggarakan semata-mata untuk keselamatan dan kemakmuran Raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga (dan terutama) untuk Kanjeng Ratu Wilhelmina.
Memasuki abad ke-20, seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda.
Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.
Di Bali, hadirnya Belanda mendorong seniman tari dan gamelan untuk menciptakan karya-karya sekuler yang setiap saat dapat dimainkan untuk hiburan wisatawan. Gamelan kebyar yang spektakuler dan cemerlang muncul pada awal abad ke-20 dan dengan cepat menyebar dari Bali Utara ke seluruh wilayah Bali. Merespon gamelan kebyar yang tengah digemari, seniman tari desa dari Tabanan, I Mario, menciptakan karya-karya unggul yang sekarang dikenal sebagai tari Kebyar Terompong dan Jago Tarung. Sementara interaksi seniman tari Bali dengan pelukis Jerman Walter Spier, membuahkan tarianKecak sekular yang kemudian dikenal dengan Monkey Dance.
Hadirnya Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak menyengsarakan rakyat, di lain pihak memungkinkan seniman Jawa dan Bali memperkenalkan keseniannya kepada bangsa lain. Rombongan kesenian (gamelan) Jawa pertama ke luar negeri diberangkatkan tahun 1893, ketika pemerintah Hindia Belanda memromosikan hasil perkebunan (teh dan kopi) Jawa ke ekspo kolonial di Chicago, Amerika Serikat. Tak aneh, jika sampai sekarang masyarakat Amerika dan Eropa menyebut kopi dengan istilah "Java".
Dari Bali, rombongan ke luar negeri bersejarah dikirim ke Exposisi Paris pada tahun 1926, di antaranya menampilkan tari Barong-Rangda yang disaksikan oleh tokoh pembaharu teater Perancis kenamaan Antonin Artaud. Terpukau menyaksikan pertarungan Barong-Rangda, Artaud menulis kesan-kesan dan visinya tentang teater baru dalam buku Theatre and Its Double yang berpengaruh luas dalam perkembangan teater dunia.
Wayang dan gamelan
Fungsi wayang dan gamelan yang mendua sebagai hiburan dan sebagai sarana ritual terus berlangsung sejak zaman kolonial sampai sekarang. Hal inilah yang membuat wayang dan gamelan sangat digemari masyarakat golongan menengah atas, maupun bawah. Gamelan kecuali dapat dimainkan secara mandiri, dapat pula berfungsi sebagai pengiring pertunjukan tari, wayang, atau upacara. Wayang dan gamelan banyak dipertunjukkan di dalam perayaan sosial atau keluarga seperti memperingati tujuh bulan kehamilan, lima hari sehabis melahirkan, khitanan, dan perayaan serta upacara pengantin. Wayang juga dipertunjukkan dalam konteks upacara agama dan spiritual seperti ruwatan, nadaran, kematian, ngunjung, sedekah bumi, dan bersih desa.Tetapi wayang juga dipertunjukkan di dalam perayaan-perayaan sekular yang diselenggarakan oleh kantor pemerintah, untuk memperingati hari kemerdekaan RI, pembukaan atau penutupan konferensi, pembangunan pasar, sekolah, jembatan, penyuluhan Keluarga Berencana, dan Kampanye Pemilihan Umum.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika karya karawitan terbagi dalam dua kategori. Pertama yang lebih menghibur untuk konsumsi masyarakat luas, kedua karya-karya kontemporer yang elitis. Semasa Orde Lama, kedua empu karawitan KRT Wasitodipuro dan RL Martopangrawit merupakan contoh dari golongan pertama, keduanya akhirnya masuk kampus: RL Martopangrawit mengajar di STSI Surakarta dan KRT Wasitodipuro mengajar gamelan di California Institut of the Arts (Valencia, Ca, AS). KRT Wasitodipuro yang sebelumnya memimpin kelompok karawitan RRI Yogyakarta dan Istana Paku Alaman, sampai tahun 1970-an aktif mencipta gending-gending pengiring tari Karya Bagong Kussudiardja. Semasa di AS karya musiknya pernah diputar di luar ruang angkasa untuk menghibur kelompok astronaut Amerika. Tokoh serupa dari Bali yang juga berperan sebagai pengajar adalah I Wayan Beratha yang karyanya dipakai mengiringi sendratari-sendratari yang diciptakan tim seniman Kokar Bali.
Tokoh karawitan dari golongan kedua adalah Ki Nartosabdo dari Semarang yang juga seorang dalang kondang. Karya-karya Ki Nartosabdo yang dipopulerkannya sendiri lewat rekaman atau pertunjukan wayang dikenal luas karena upayanya memadukan unsur-unsur musikal Jawa, Sunda, Bali (Wandali) dan
daerah-daerah lain.
Karya-karya gamelan kontemporer dimotori oleh seniman-seniman, pengajar dan mahasiswa perguruan tinggi seni yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dua perguruan tinggi seni yang unggul di bidang penciptaan karawitan adalah Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan Denpasar, Bali. Penyebaran dan pengenalan karya-karya gamelan eksperimental semacam ini dimulai Dewan Kesenian Jakarta melalui forum Festival Komponis Muda yang pertama kali diadakan tahun 1979, di TIM. Beberapa nama komponis unggulan yang muncul dari forum ini adalah R Supanggah, I Wayan Sudra, Pande Made Sukerta, AL Suwardi, Komang Astita, Nyoman Windia, dan Nano Suratno. Melalui karya gamelan kontemporer, seniman karawitan kita memasuki forum kerjasama antar bangsa. Paruh kedua dekade 1990-an ini R Supanggah menyusun musik untuk pentas teater antar bangsa Lear yang disutradarai Ong Keng Sen dari Singapura dan dimainkan oleh seniman pelaku dari 6 negara; Jepang, Cina, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Komang Astita dan Nyoman Winda menggarap musik pengiring balet modern Bhima oleh penata koreografer Ulf Gadd dari Swedia.
Yang menarik di dekade 1990-an adalah munculnya genre musik tradisi populer "Campursari" yang memadu instrumentasi gamelan dengan keyboard dan alat-alat musik Barat lainnya. Sajian mereka berada di antara musik keroncong dan gamelan Jawa. Salah seorang pelopor di bidang ini adalah Manthous yang rekaman dan pertunjukannya sangat laku di kalangan masyarakat Jawa. Untuk jenis gamelan populer semacam ini di Jawa Barat perlu dicatat Gugum Gumbira dengan Jugalanya. Terakhir pentas disebut karya Jaduk Ferianto yang memanfaatkan dengan pintar berbagai instrumen perkusi daerah yang didominasi gamelan Jawa dan Bali. Karya musik dan penampilan Jaduk bersama kelompok Kua Etnika berada di batas kontemporer dan populer.
Karena fungsinya yang mendua-sebagai sarana upacara dan hiburan-wayang merupakan satu-satunya seni tradisi yang tak lekang diterpa terik mentari. Pada awal kemerdekaan, wayang baru dicipta sebagai alat promosi berbagai pihak. Ada wayang suluh yang mengisahkan masa-masa revolusi dan perjuangan kemerdekaan, wayang wahyu yang bercerita tentang Yesus, wayang kancil tentang dongeng binatang, wayang Diponegoro untuk mempopulerkan pahlawan Diponegoro, dan sebagainya. Ketika Golkar berkuasa, lagi-lagi wayang dikooptasi. Sejumlah pakar dan seniman dari perguruan tinggi seni menuliskan lakon Waringin Kencono atau Beringin Emas, misalnya.
Dekade 1970-an Ki Nartosabdo merajai pasar karena kemampuannya bermain gamelan, menciptakan gending baru, dan kepiawaiannya melucu sepanjang lakon. Tentang figur boneka wayang tidak pernah ada perubahan berarti. Kecuali sebuah upaya oleh perupa Sukasman dari Yogyakarta yang memperbaharui bentuk hiasan, dan wanda (wajah) sejumlah tokoh. Sukasman harus menunggu cukup lama kesedihan seorang dalang memainkan wayang-wayangnya.
Kecenderungan untuk memenuhi permintaan pasar telah memaksa banyak dalang melakukan langkah "kreatif" dari yang wajar sampai yang tak benar. Penggunaan dua layar lebar, sound-system yang membahana, penataan lampu-lampu panggung secara modern, mengundang sederet waranggono, penyanyi dangdut, penari, dan masih banyak lainnya lagi. Ada kecenderungan "anything goes" bisa memikat pemirsa. Wayang kulit purwa sedang berubah dari sebuah ekspresi budaya menjadi produk atau barang dagangan. Dua dalang yang memasuki milenium ketiga ini paling digemari dan mahal adalah Ki Manteb Soedharsono dan Ki Anom Suroto.
Karya atau pementasan wayang eksperimental atau kontemporer yang elite dilakukan oleh seniman-seniman kampus. Pergelaran pakeliran padat, wayang sandosa (STSI Surakarta), wayang listrik (STSI Denpasar, Bali) merupakan sedikit contohnya. Eksperimen pertunjukan wayang yang menarik dilakukan oleh dalang muda I Made Sidia dari STSI Denpasar bekerja sama dengan Ken Deveraux dari Chicago, AS. dengan menggunakan media elektronik dan komputer. Sayang sekali hasilnya yang menarik tak bisa dilihat di Indonesia. Sementara eksperimentasi melaju-walau sporadis dan tergantung undangan-pertunjukan wayang di Bali tetap memiliki fungsi ritual. Kenyataan ini memungkinkan wayang Bali tetap tinggal sebagai ekspresi budaya, tetapi kurang berdaya di pasar.
0 Komentar