Perubahan Tari Wayang
Seni tari bersifat dinamis, artimya seni tari selalu mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
misalnya; keadaan sosial masyarakat di suatu lingkungan, atau juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan berubahnya pemikiran
manusia ke arah yang lebih maju. Pada perkembangannya, tari wayang juga
mengalami beberapa perubahan-perubahan dari berbagai segi yang disebabkan berbagai faktor
Sejak awal diciptakannya tari wayang hingga tahun 1987 secara gerak tari
dan kostum tidak banyak yang berubah. Pada masa-masa awal perkembangannya tari wayang lebih dominan di pelajari
dan dipertunjukkan oleh kaum pria. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu kaum
ménak berperan sebagai pengayom kesenian. Kaum ménak merupakan golongan
sosial yang mendapatkan otoritas kekuasaan melalui sistem tradisional. Mereka terdiri dari para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Karena tari
wayang ini tumbuh dan berkembang di kalangan kaum ménak, maka yang
mengembangkannya pun adalah mereka para pemimpin daerah yang memiliki
status sebagai seorang ménak. Selain terdapat anjuran agar setiap ménak terampil
menari, tari juga dijadikan sebagai alat pergaulan para ménak atau alat silaturahmi
para pejabat-pejabat saat itu. Sedangkan yang menjadi pemimpin hanyalah para
kaum pria, maka tidak heran jika di awal perkembangannya tari wayang banyak di
pelajari dan dipertunjukkan oleh kaum pria.
Namun seiring berkembangnya kehidupan masyarakat, tari wayang tidak
lagi hanya dipelajari oleh para kaum ménak. Rd. Ono mulai mengembangkannya
pada masyarakat secara luas di Sumedang. Seperti yang terlihat pada gambar 3,
bahwa yang mempelajari dan mempertunjukkan tari wayang tidak lagi terpaku
hanya oleh kaum pria. Semakin lama justru tari ini lebih banyak digemari oleh kaum
wanita. Diungkapkan oleh Tati bahwa pada saat kaum wanita hanya diperbolehkan
untuk diam di rumah. Menari bagi kaum wanita memiliki image yang negatif akibat
perkembangan Ronggeng. Ketertarikan akan gerak tari wayang yang membawa
antusias para wanita untuk mempelajari tari wayang. Tidak seperti Ronggeng, tari
wayang memiliki kekhasan gerak yang menciptakan kelasnya tersendiri
(Wawancara, 21 Januari 2017).
selain hal-hal yang telah diungkapkan tersebut, tari wayang juga mengalami
perubahan lainnya, seperti perubahan yang terjadi karena gaya, perubahan fungsi
pertunjukkan, dan juga perubahan selera masyarakat. Selain faktor internal,
perkembangan kehidupan masyarakat sangat mempengaruhi perubahan yang
terjadi dala, perkembangan tari wayang. Perubahan-perubahan tersebut akan
dijelaskan dengan lebih lengkap seperti:
1. Perubahan Gaya
Berbicara mengenai gaya, dalam ilmu estetika gaya merupakan satu cara
penyajian yang khusus, tersendiri, yaitu dalam komposisi kesusastraan, musik,
lukisan, seni pahat dan ukir, dan seterusnya (Chaplin, 2002, hlm. 490). Lebih lanjut
Sedyawati (1981, hlm. 4) menjelaskan bahwa gaya dalam tari merupakan sifat
pembawaan yang menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri
pengenal dari gaya yang bersangkutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa gaya
dalam tari merupakan suatu bentuk atau ciri khas, pembawaan seorang individu
dalam mengekspresikan gerak tarinya. Karena gaya dalam menari tersebut
memiliki kekhasan dari individu yang mengekspresikan tarinya, maka gaya tari itu
sendiri hanya dimiliki oleh penarinya. Secara tidak langsung gaya dalam tari
membentuk identitas dari tari itu sendiri.
Begitu pula halnya dengan tari wayang yang tumbuh dan berkembang di
Kabupaten Sumedang. Kita ketahui bahwa tari wayang bukan hanya tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Sumedang, tetapi juga berkembang di beberapa daerah
di wilayah Priangan seperti Bandung, Garut dan Bogor. Meskipun berkembang
kesenian yang sama, namun setiap daerah memiliki perbedaan yang tidak dimiliki
daerah lain, itulah yang kemudian disebut sebagai gaya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa gaya tari wayang di setiap daerah muncul dari gaya seniman penciptanya.
Tari wayang karya Rd. Ono kemudian dikenal sebagai tari wayang khas Sumedang,
karena penciptaan gerak tarinya yang berbeda dari daerah lain.
Dapat kita cermati bahwa gaya tersebut muncul dari seniman sebagai
pencipta tarinya. Dari gaya pulalah kemudian muncul perubahan-perubahan dalam
gerak tari wayang Sumedang. Hal itu terjadi disebabkan bahwa setiap individu
memiliki style atau gayanya masing-masing dalam berekspresi. Ia tidak bisa
sepenuhnya mengikuti gaya pencipta aslinya. Harus diakui bahwa kenyataannya
yang terjadi adalah semakin lama bentuk gerak tari wayang tersebut semakin
berubah.
Diungkapkan oleh Wida bahwa gerak tari wayang dalam perkembangannya
semakin lama semakin berubah dari gerak aslinya. Jika diibaratkan sebuah warna,
contohlah warna merah jika awalnya warna tersebut merah pekat maka semakin
lama warna tersebut menjadi memudar menjadi merah muda dan lama kelamaan
semakin memudar dan luntur warna aslinya. Hal tersebut juga dapat diakibatkan
oleh antusiasme masyarakat yang semakin berkurang, dengan sifatnya yang
menginginkan sesuatu yang instan, sehingga dalam belajar tari wayang pun ingin
instan. Sedangkan tari wayang merupakan sebuah tari yang cukup sulit untuk dipelajari, membutuhkan ketekunan dalam mempelajarinya sehingga tidak dapat
instan Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa memang semakin lama
gerak tari wayang semakin berubah keaslian geraknya. Salah satu halnya yang
menjadi penyebab berubahnya gerak tari wayang adalah gaya yang dimiliki seorang
individu berbeda-beda. Selain gaya, perubahan tersebut juga terjadi akibat proses,
jika kita lihat karakter individu berubah mengikuti zaman. Di zaman dulu
masyarakat yang belajar tari wayang kepada Rd. Ono, mereka belajar gerak tarinya
hingga terampil sehingga geraknya pun sesuai dengan gerak aslinya. Meskipun
memakan waktu yang tidak sebentar, namun masyarakat pada masa itu tekun dan
mengikuti setiap prosesnya. Berbeda dengan masyarakat yang kini menghadapi
perkembangan teknologi yang memudahkan serta mempercepat segala kebutuhan
mereka membuat karakter mereka pun berubah termasuk ketika belajar tari.
Masyarakat tersebut merasa tidak betah ketika harus belajar tari dengan gerak yang
sama terus menerus dalam waktu yang cukup lama hingga benar-benar terampil
dalam gerak tersebut. Masyarakat di era modernisasi seperti itu lebih menginginkan
sesuatu yang lebih praktis dan cepat. Hal itulah yang pada akhirnya menyebabkan
adanya perubahan pada gerak yang dihasilkan dari murid-murid tersebut 2. Perubahan Fungsi Pertunjukkan
Perkembangan seni selalu seiring dengan perkembangan masyarakat
sebagai pendukungnya. Demikian pula halnya dengan seni tari, yang tidak hanya
sekedar ungkapan dari seni pertunjukkan saja. Disaat berubahnya zaman pada saat
manusia bergelut dengan kemajuan teknologi serta berbagai kebudayaan, maka
cabang seni tari pun berkembang sesuai kondisi dan situasi. Perkembangan tersebut
tentu dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya sebagai suatu proses. Proses
tersebut dimaksudkan kepada suatu gejala perubahan, gejala penyesuaian diri, serta
gejala pembentukan yang semuanya disebut sebagai proses sosialisasi.
Manusia hidup ke arah kemajuan, dan kemajuan tersebut mengakibatkan
suatu perubahan. Masyarakat yang semula mengandalkan pertanian dalam
menopang kehidupannya kemudian mengalami perubahan dengan hadirnya
industrialisasi. Masyarakat pertanian yang sederhana dan memegang nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat berubah menjadi masyarakat yang modern akibat
majunya teknologi dan informasi. Hal tersebut juga dialami oleh masyarakat Jawa
Barat termasuk Sumedang yang tidak luput dari proses perubahan. Terjadi
perubahan dari masyarakat agricultural (pertanian) menuji masyarakat industri
yang menuntut berbagai berbagai penyesuaian atau adaptasi. Hadirnya
industrialisasi menjadikan sikap serta pola pikir masyarakat untuk lebih memanfaatkan kemudahan sarana dan prasarana, walaupun pada kenyataannya
belum semua masyarakat dapat mengikuti perubahan yang ada, begitu pula halnya
dengan seni. Zaman yang semakin maju menuntut terjadinya perubahan di segala
bidang, tak terkecuali pada bidang seni (Caturwati, 2004, hlm. 5).
3. Perubahan Selera Masyarakat
Perkembangan zaman yang semakin maju dalam teknologi dan informasi
juga mempengaruhi bagaimana seorang individu atau masyarakat menilai dan
memilih seni yang disukainya. Terutama pada perkembangan informasi khususnya
lewat media elektronika menyebabkan masyarakat memiliki kebebasan penuh
untuk memilih selera, sesuai dengan kesenangan dan kemampuannya masing-
masing. Kebebasan yang diakibtakan adanya kemajuan industri tersebut
menjadikan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri maupun
lingkungan. Begitu pula dengan selera masyarakat terhadap kesenian menjadi
demikian sempit dan terbatas. Mereka hanya percaya dan lebih menyukai jenis-
jenis seni industri yang sudah dikemas sedemikian rupa, yaitu suatu bentuk seni
yang telah kehilangan fitrahnya.
Berkaitan dengan selera masyarakat, pada tahun 1950-an di pusat Kota
Bandung mulai dikenal luas adanya BKI (Badan Kesenian Indonesia) yang
dipimpin oleh Tb. Oemay Martakusumah yang saat itu menjadi kepala Jawatan
Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Tarian yang diajarkan adalah tari hasil kreativitas
R. Tjeje Somantri seperti; tari Dewi, tari Ssekarputri, tari Kupu-kupu, tari Sulintang, tari Merak, tari Kandagan, tari Topeng Koncaran, dan tari Kendit
Birayung.

0 Komentar